“KZL bat gua njir!”
“Keknya ga usah kesana deh. Uda jauh2 kesana, eh taunya zong lagi.”
“Y x g kuy!”
Itulah kira-kira percakapan tertulis (dalam chat Whatsapp atau Line atau platform chat lainnya) Generasi Millennials saat ini. Jenis-jenis percakapan seperti ini sebetulnya Bahasa Indonesia sih, tapi… Ya inilah bahasa millennials!
Sebetulnya bukan sesuatu yang baru bahwa setiap generasi itu punya ‘bahasa’-nya sendiri. Bahasa pun berkembang sesuai zamannya. Jadi nggak heran, tiap generasi punya dimensi zamannya masing-masing.
Menurut Peminat Kajian Budaya Populer Udji Kayang Aditya Supriyanto seperti dikuti dari artikel berjudul “Bahasa Generasi Millennials” yang terbit di Kompas (28 Agustus 2017), pada masa-masa sebelumnya juga ada loh berbagai macam bahasa gaul.
Pada tahun ’70-an, anak muda zaman itu marak menggunakan bahasa gaul yang dipopulerkan Teguh Esha dalam novel Ali Topan Anak Jalanan (1977).
Sebuah bahasa yang oleh Teguh Esha diekspresikan seperti ”si Bobby? Katro banget dia! Gara bokis dijadiin meten, jack! Suka lupa ame kawan! Eks harim gout, si Anna Karenina nyang ortunya sangar kayak ’kang jaga kuburan, terbang ke Singapur, digusur bokapnya. Gout udah bilangin, eh die maksa. Ya udah. Gout gara bokis bilang pae pae lagi deh!!”Bahasa gaul yang juga disebut bahasa prokem (preman) itu mungkin sebagian sudah kita kenal bahkan akrabi. Preman sebagai istilah asli prokem memang berasal dari kata frij-man (Jerman) atau free-man (Inggris), yang di Indonesia dikonotasikan pada komunitas pelaku kriminal, narapidana, gali, bromocorah, dan sebagainya.
Tahun 2000, aktris Debby Sahertian mengeluarkan buku berjudul “Kamus Bahasa Gaul”. Keluarnya kamus itu seakan-akan menandakan cara berkomunikasi dan berbahasa anak muda saat itu.
Kata-kata dan lema yang sempat tren zaman itu dan ada di dalam kamus itu antara lain:
Titi DJ yang artinya Hati-Hati di Jalan; Macica yang artinya Macet ; Nepsong yang artinya NafsuArtinya, setiap generasi itu punya bahasa uniknya masing-masing! Jadi kalau kamu ditegur bokap nyokap atau guru kamu karena berbahasa nyeleneh ala Generasi Millennials, bilang aja gini: “Yaelah bapak ibu kayak ga pernah muda aja!”
Baca Juga : Mengapa Perempuan yang Seharusnya Mahal Menjadi Murah? Simak Penjelasannya !
Pola Pembentukan
Balik lagi ke Bahasa Generasi Millennials, mari pelajari bagaimana pola pembentukannya menjadi sebuah kata yang diucapkan Generasi Millennials.1. Generasi Millennials ini seringkali mengadopsi atau meminjam bahasa asing
Salah satu contoh kata yang sering dipakai seperti distrek yang diserap dari kata Inggris, distract (mengalihkan, mengganggu, membingungkan).Contoh pemakaian distrek: “Berisik banget sih tuh bocah teriaknya! Ke distrek kan gw jadinya”.
Contoh lainnya kata yang sering digunakan adalah cao yang berasal dari Bahasa Italia, Ciao yang artinya selamat tinggal. Serupa dengan arti aslinya, cao sering dipakai Generasi Millennials ketika hendak pamit dari teman-teman di tongkrongannya.
Contoh pemakaian cao: “Cuy gw cao dulu ye, mau jemput cewek gue.”
Penggunaan kata-kata dari bahasa Inggris itu terjadi karena generasi Millennials ini hidup dimana jarak dan batas antar negara seakan sudah luluh akibat perkembangan teknologi yang memungkinkan akses informasi berseliweran tanpa sekat batas negara. Hal itu membuat telinga generasi Millennials lebih akrab dengan bahasa asing sehingga terserap dan diucapkan dalam kesehariannya.
2. Pola pembentukan bahasa milenial berikutnya adalah dengan penyingkatan atau akronimasi
Beberapa contoh akronim milenial antara lain geje (gak jelas), jombi (jomblo bingung), gabut (gaji buta), kzl (kesel), dan sebagainya.Kata-kata ini merupakan perwujudan generasi ini yang perkembangan teknologi yang membuat hidup mereka serba cepat, hal ini membuat millennials kerap kali menyingkat-nyingkat kata-kata.
3. Pola lainnya terasa berbeda karena berbasis suara yang onomatopik, bersumber dari kemiripan bunyi/suara
Misalnya, kata tulalit yang bersumber dari suara telepon, diartikan sebagai ”ketika pikiran tidak nyambung dengan realita karena kurang fokus”. Kata lainnya, krik-krik yang bersumber dari suara jangkrik di keheningan, didefinisikan sebagai ”klimaks yang terlupakan berujung sunyi di akhir cerita”.Selain ketiga pola pembentukan kata/frasa bahasa milenial tersebut, ada kata-kata yang muncul dan dipakai begitu saja. Salah satu contohnya adalah zonk. Kata itu gagal didefinisikan secara singkat. Bila di label botol air mineral hanya tertulis: ”zonk = @#$*?!”. Label botol pun gagal memberikan penjelasan panjang lebih lanjut, sekadar ”kegagalan fokus tingkat internasional”.
Baca Juga : Jemputlah Rezeki Yang Telah Diberikan Allah SWT
Apa yang dapat kita pelajari?
Dari paparan di atas, kita bisa mempelajari bahwa tiap generasi itu punya bahasanya masing-masing sesuai era dan zamannya. Termasuk bahasa Generasi Millennials.Maka tak ada yang salah saat Millennials mengucapkan bahasa generasinya kepada teman-teman sepantarannya. Orang-orang tua dari generasi X dan Baby Boomers juga jangan protes kalau denger anak-anaknya yang Millennials berbicara dengan bahasa-bahasa itu.Namun, yang terpenting adalah millennials harus belajar menempatkan dan menyesuaikan diri dengan lawan bicaranya. Ketika sedang berbicara dengan orangtua, guru, atasan, atau rekan kerja yang lebih tua, Millennial perlu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Tidak perlu berbahasa Indonesia dengan baku dan kaku, hanya gunakanlah kosa kata yang umum dan tepat. Millennials harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan memilih bahasa yang tepat saat berbicara dengan orang yang tepat.
Sebab, ucapan adalah buah pikiran. Ucapan dengan bahasa yang kacau merupakan buah pikiran yang kacau. Millennials nggak mau kan disebut sebagai generasi yang kacau cara berpikirnya?Seperti kata band Barasuara dalam lagunya yang berjudul “Bahas Bahasa”
“Bahasamu bahas bahasanya. Lihat kau bicara dengan siapa”
0Komentar