Apakah ini benar? Saya rasa tidak. Tahukah kamu bahwa angka perceraian di Sulawesi Selatan sangat tinggi - lebih tinggi dibandingkan jumlah pendaftar calon jamaah haji tiap tahunnya? Dan tahukah kamu bahwa besarnya biaya pernikahan yang harus ditanggung pria justru menjadi salah satu faktornya. Setelah ngos-ngosan memenuhi permintaan pihak keluarga wanita untuk membiayai pernikahannya yang mahal, dalam fase awal pernikahan pria jadi semakin penuntut sementara wanita semakin banyak tertekan, pelarian wanita yang tertekan kebanyakan curhat di sosmed dan lingkaran pertemanannya, karena merasa pria tidak mampu mengertinya. Lalu pria pun merasa tidak dihargai. Pertengkaran pun terjadi. Lingkaran setan.
Jika terus-terusan mempertahankan tradisi - yang mana tradisi Uang Panai itu sebenarnya bukan tradisi orang Bugis Makassar murni, tapi diadopsi dari kolonial Belanda ketika hendak menikahi gadis pribumi, maka kita akan kehilangan banyak kesempatan di masa depan. Kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih layak misalnya. Padahal kita ingin agar generasi muda kita tidak hanya berhenti pada level sarjana, tapi juga mencetak doktor dan profesor. Kita ingin masyarakat kita memiliki keluarga yang lebih sejahtera dan bahagia, karena bisa menabung.
Pernikahan adalah salah satu bisnis terbesar di Indonesia dimana perputaran uangnya tiap tahun luar biasa. Namun jika ditelisik lebih jauh, terlalu banyak pemborosan yang terjadi sehingga berpotensi menguras kemampuan ekonomi keluarga. Banyak yang ketahanan ekonomi keluarganya cenderung memburuk pasca pernikahan. Banyak yang menyisakan hutang. Banyak yang menganggap pernikahan jadi ajang perjudian dimana taruhannya adalah perbandingan biaya yang dikeluarkan dengan banyaknya sumbangan yang masuk lewat amplop.
Dalam fiqh munakahat, yang wajib diserahkan oleh pihak pria kepada wanita adalah mahar. Mahar itu bukan uang panai. Saya miris ketika menghadiri pernikahan yang uang panainya bisa hampir ratusan juta, namun maharnya cuma ratusan ribu. Katanya uang panai untuk penghargaan kepada pihak mempelai perempuan, penghargaan darimananya? Gini loh, dalam hukum islam, yang menjadi sebenar-benarnya milik wanita setelah dinikahi adalah mahar. Mahar ini tidak boleh diambil atau disentuh lagi oleh pria kecuali seizin wanita. Bahkan jika terjadi perceraian, apa-apa yang sudah dimaharkan tidak bisa lagi diambil oleh pria.
Pernikahan itu adalah persoalan agama. Menyempurnakan agama ya salah satu jalannya ialah dengan menikah. Namun jika persoalan adat jadi lebih berat, dan agama hanyalah jadi pelengkap seremonial seperti ceramah nasehat pernikahan, maka ada yang salah dengan cara kita menerapkan prinsip agama dalam kehidupan.
Di masa depan, pertukaran informasi akan semakin kencang. Pria-pria yang tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk menikah di kampungnya sendiri akan merantau dan mencari wanita yang murah biaya pernikahannya di tempat perantauannya. Contohnya di Bandung, sudah banyak promo biaya resepsi di gedung hotel cukup belasan juta. Berbeda dengan di kampung yang standard terendahnya saja 30 jutaan. Gak percaya? Silahkan survey.
Ini akan membuat banyak wanita Bugis Makassar kesulitan mencari jodoh. Sementara, berkembangnya teknologi membuat wanita modern semakin liberal dan cerdas tapi tidak berminat urusan dapur. Artinya, kualitas calon ibu rumah tangga akan mengalami penurunan. Kalau terus-terusan dibiarkan biaya nikah dimahalkan, maka zina akan jadi semakin murah.
Mau tidak mau, suka tidak suka, pasti akan terjadi koreksi sendiri. Ini sudah hukum alam. Biaya pernikahan di masa depan pasti akan tereduksi. Yang perlu kita lakukan hanyalah mengkampanyekan reduksi biaya pernikahan agar percepatan pemerataan ekonomi secepatnya terjadi. Segera! Ini urgent sekali. Kalau tidak, semakin banyak letting ta' yang jadi jarang bergaul karena selalu ditanyai "Kapan nikah?" seperti Admin sendiri yang selalu ditanya "Kapan Nikah?" hehehe...
0Komentar