“Kekecewaan itu muncul ketika kita terlalu berlebih dalam hal keinginan dan berharap.”

Sering kita beranggapan hidup ini terlalu rumit untuk kita jalani, ketika kita merasa kehidupan seperti senang menyuguhi kita dengan berbagai masalah yang seolah tidak ada putus-putusnya setiap waktu. Kita dihadapkan pada kenyataan yang tidak kita inginkan. Kita diterpa berbagai keadaan yang berbanding terbalik dengan keinginan yang kita harapkan. Akhirnya untuk tetap berperan hebat dalam sandiwara kehidupan ini, kita terpaksa memainkan peran “baik-baik saja.”

Pura-pura tersenyum, pura-pura kuat, pura-pura bahagia, pura-pura hebat padahal rapuh. Setiap hari, berupaya semaksimal mungkin agar terlihat baik-baik saja. Kita terpaksa harus membohongi diri kita sendiri, menjalani hari-hari dengan penuh kepalsuan, akhirnya terjebak dalam kegalutan, dirundung oleh keadaan, terikat oleh sandiwara yang harus terus menerus dimainkan. Dan yang paling memilukan dari itu, ketika kita harus berpura-pura tertawa oleh sesuatu yang sama sekali tidak lucu untuk ditertawakan.

Kita terus memainkan sandiwara yang sama setiap saat, yang sama sekali tidak pernah kita inginkan, yang tidak pernah kita harapkan, bahkan tidak pernah terlintas sebelumnya akan terjadi menimpa kita. Kita menjadi palsu dalam kehidupan kita sendiri, kita tutupi segala yang kita hadapi dengan kebohongan, bersandiwara, membohongi diri dengan memainkan peran baik-baik saja. Kita kehilangan diri kita sendiri, kehilangan senyum jujur kita, kehilangan kebahagiaan yang seharusnya tidak perlu terjadi, kehilangan masa yang sama sekali tidak perlu kita hadapi.

Peran Baik-Baik Saja

Setiap saat terjebak pada pemikiran-pemikiran sempit semacam itu, akhirnya kita tenggelamkan diri kita sendiri pada keadaan. Kita kecewa, sedih, bingung, dihantui kesedihan. Keadaan seakan terus memaksa kita untuk menjalani hari-hari penuh kegelapan. Awan gelap seakan sedang menutupi hati kita, menutupi penglihatan kita, menutupi apa yang kita miliki, kita tersesat dalam pandangan hidup kita sendiri, kita menjadi buta untuk menentukan jalan mana yang harus kita tempuh. Kita terpuruk oleh ego kita sendiri, yang membawa kita pada kenyataan yang akan membuat kita lupa untuk mensyukuri apa yang masih kita miliki.

Padahal tidak akan demikian jika kita mau untuk lebih memahami diri kita, mau mengerti tentang siapa diri kita, kita mau untuk lebih bisa menghargai apa yang kita miliki, mau untuk tidak memaksakan kehendak diri, tegas kepada diri kita sendiri dengan mengesampingkan keegoan kita, kita harus terus berada dalam kesadaran, bahwa semua yang kita inginkan tidak selalu dapat kita wujudkan dalam kehidupan ini. Kita punya batas-batas diri yang harus kita terima, kita tidak bisa memaksakan sesuatu yang bukan ditetapkan untuk kita, yang bukan disediakan untuk kita, apalagi sesuatu yang bukan diperuntukan untuk menjadi hak kita.

Kita harus belajar memahami itu, kita harus menjadi sosok yang mampu mengenali diri kita sendiri, menjadi sosok yang tau membaca diri, mengenal kemampuan kita, tanpa lupa jika kitapun memiliki titik lemah yang tidak bisa kita pungkiri, kita punya keterbatasan. Jika kita mau menyadari itu, maka kita akan mampu keluar dari masalah-masalah yang kita hadapi, kita mampu keluar dari kegelapan yang meliputi kita, bahkan kita bisa menjadi pribadi yang mampu bersyukur dalam setiap keadaan, sekalipun itu mensyukuri sebuah kekecewaan. Kita akan menjelma menjadi manusia yang penuh dengan kesadaran, bahkan kita mampu menempatkan diri kita dengan baik dalam setiap menyikapi proses yang akan kita temui dalam kehidupan ini.

Kita hanya perlu mau untuk memahami itu, dengan demikian kita akan lebih menyadari jika setiap proses yang terjadi dalam kehidupan ini, sama sekali tidak seburuk seperti yang kita bayangkan, bahkan tidak selalu sebaik yang kita duga. kita terjebak dalam pemikiran-pemikiran sempit kita sendiri, kitalah yang terlalu mendramatisir keadaan kita, sehingga kita menjadi sosok yang terlalu berlebih dalam menaruh pengharapan pada sesuatu yang kita inginkan, namun kenyataannya belum tentu bisa kita wujudkan, kitalah yang terlalu memaksakan diri, maka muncullah kekecewaan itu, kesedihan itu, segala hal yang hanya akan berujung pada kepalsuan.

Kita memang harus belajar untuk memahami siapa diri kita, agar kita bisa lebih mengerti keterbatasan yang ada dalam diri kita, kita perlu melakukan itu, agar kita mampu mengubah keadaan dimana kelemahan itu bisa menjadi kekuatan untuk kita, yang akan membawa kita pada hidup yang telah Tuhan mampukan untuk kita, bukan hidup yang memaksakan segalanya harus sesuai dengan yang kita inginkan. Hidup ini penuh dengan teka-teki, hari kemarin telah menjadi masa lalu, hari ini penuh harapan, dan esok adalah ketetapan yang tidak pernah kita tau akan seperti apa kita kelak, maka hiduplah di hari-hari ini, di hari-hari yang harus kita jalani dengan penuh dengan kesadaran.

Mari membaca diri, karena pada akhirnya semua memang harus dikembalikan kepada Empuhnyai Hidup.