“Jika kau masih membenci keburukan, maka kau belum sepenuhnya mengerti apa itu “benci”. Bukankah kau tau kebencian itu juga bagian dari keburukan?”

Membenci keburukan orang lain bukan berarti kita harus membenci individunya (orangnya), jika kita tanpa sadar sering khilaf melakukan itu, maka apa bedanya antara kita yang membenci, dengan dia (si individu) yang keburukannya membuat kita merasa benci terhadapnya? Bukankah dengan melakukan itu kita sama telah berlaku buruk dengan menanam kebencian dihati kita? Jika kita mampu untuk memahami ini maka bencilah setiap keburukan itu tanpa ikut membenci individu yang melakukannya.

Tidak ada manusia yang benar-benar bersih didunia ini dari salah dan khilaf, kita juga memiliki banyak cacat yang kita sadari maupun yang tidak kita sadari, kita tidak harus melupakan itu. Bisa saja kita membenci kesalahan orang lain namun tanpa kita tau (karena ia telah menyadari diri dan berupaya memperbaiki) kesalahannya ternyata ia telah diampuni. Tuhan berhak melakukan itu. Sementara kita yang telah khilaf menanam kebencian didalam hati kita disebabkan keburukan yang kita lihat ada pada diri orang lain, tanpa sadar kitapun telah menanam benih keburukan yang sama. Apa kita yakin, kita juga akan diampuni?
Mereka Tidak Mengenal Kata "BENCI"

Kadang dengan kebencian yang lahir dari keburukan yang kita lihat tanpa adanya kontrol diri, ego mendorong kita untuk merasa diri memiliki hak untuk mengadili, bahkan ada yang langsung dengan tega menghakimi individu yang melakukan keburukan itu. Betapa banyak yang kita lihat, yang kita dengar dimana-mana, ada orang-orang yang terpandang bersih tanpa ada cacat ternyata dengan bengis menghakimi orang lain yang dianggap buruk tanpa ada kontrol diri hingga sampai melakukan perbuatan aniaya. Bahkan dengan kejinya menghasut orang lain yang ada disekitarnya untuk melakukan perbuatan yang sama. Akhirnya dibakar hidup-hidup tanpa adanya pertimbangan kemanusiaan.

Memang, terkadang kita harus muak dengan keburukan yang dilakukan siapa saja, tetapi kita harus tetap menyadari jika kita tidak memiliki hak untuk mengadili apalagi untuk menghakimi. Namun kecenderungan kepada hawa nafsu mendorong kita untuk melakukan itu, ego kita menggiring kita untuk menjadi pribadi pembenci tanpa kita sadari, disaat inilah iblis berhasil mengelabui kita dengan meniupkan pengaruh sifatnya yaitu kebencian. Dengan itu, kita telah masuk karena yang bukan hak kita untuk ada disana, kita tiba-tiba menjadi hakim bagi sesama, kita menganggap diri kita memiliki hak untuk mengadili setiap perbuatan buruk yang kita lihat dari orang lain. Kita lupa jika hak mutlak menghakimi adalah hak mutlak milik Tuhan.

Apabila itu terjadi, kita cenderung merasa diri seperti Tuhan tanpa adanya dasar pengetahuan. Ini tidak dibenarkan ! Akibatnya kitalah yang harus menikmati hasil dari apa yang kita tanam (kebencian), kita terjerumus kedalam keburukan yang tadinya kita benci, tapi kemudian tanpa sadar kita menjadi pelaku dari keburukan itu sendiri. Kita memandang diri kita baik, seolah-olah tanpa cacat, dan memandang setiap orang yang melakukan keburukan itu patut untuk dibenci. Kita lupa, jika sifat benci itu sendiri adalah salah satu cabang dari keburukan, maka menjadi pentinglah sebuah kontrol diri agar kita menjadi awas terhadap diri kita sendiri dari tipu daya iblis melalui hawa nafsu, dan dari dorongan ego kita sendiri.

Kita tidak bisa menjamin keselamatan diri kita dari tipu daya iblis, dari pengaruh hawa nafsu, dan dari dorongan ego kecuali orang-orang yang telah dijamin keselamatan baginya, tetapi kita masih bisa menjamin diri kita untuk tetap pada posisi yang seharusnya dimana semestinya kita harus ada. Jika kita bisa lebih dalam lagi untuk memahami ini dengan nurani, maka kita akan lebih cenderung sibuk untuk memperbaiki diri dari cacat-cacat yang kita miliki, dari pada sibuk menghakimi cacat yang ada pada diri orang lain.

“Setiap orang yang “tercerahkan” kesadaran akalnya, cenderung membenci keburukan, dan menyukai kebaikan. Sementara mereka yang “tercerahkan” hati nuraninya, tidak ada bedanya bagi mereka kebaikan dan keburukan itu. Itulah yang dinamakan “Cinta”, mereka tidak mengenal kata benci. Yang ada hanya Cinta, hanya Dia.”

HAKEKAT CINTA