Ramang lahir dan besar di Barru, Ia dilahirkan pada 24 April 1928. Ayahnya, Nyo’lo, merupakan Ajudan raja Barru Kalimullah Djonjo Karaeng Lembang Parang yang dikenal sebagai jagoan sepak raga. Sejak kecil Ramang sudah terlihat mewarisi bakat bal-balan ayahnya. Ia kerap berlatih dengan seadanya. Bola anyaman rotan, gulungan kain, hingga buah jeruk kecil menjadi teman berlatihnya. Ramang adalah sosok yang sangat melegenda dan kontroversial. Melegenda, karena semasa hidupnya telah melahirkan prestasi yang luar biasa dan hingga kini belum tertandingi. Dalam seabad setelah Ramang tampil, kata orang, sulit kita menemukan pemain bola sekelas dia. Dia banyak disebut-sebut sebagai Pele-nya Indonesia.
Hasil yang dicapai itu, karena disiplin dalam berlatih. Dia menggelutinya dengan tidak lazim, Ketika akan pergi berlatih bermain bola, dia sudah lari berkeliling lapangan (di mana pun dia berlatih) sebelum para pemain lainnya muncul di lapangan. Begitu pun ketika teman-temannya usai berlatih, Ramang masih tetap berlatih menendang bola ke gawang hingga hari gelap. Tak terlalu lama ia berlatih dengan bola rotan, buah jeruk dan gulungan kain, sebab ditahun 1939 ia sudah mulai menendang bola kulit untuk team kesebelasan Bond Barru,yang bemarkas di Lapangan Sumpang Binangae kala itu. Kesebelasan inilah yang menjadi Club pertamanya.
Didaerah ini pulalah Ramang kerap berlatih sendiri dengan model latihan yang berbeda dengan pesepakbola lain. Ramang sering berlatih di pantai. Berlatih di tengah gelombang. Menendang bola yang dibawa kembali gelombang ke pinggir pantai hingga dia capek. Dia juga berlatih berlari di pasir. Ini memang terbukti. Tony Pogacnik, pelatih PSSI pada jamannja menjaksikan sendiri betapa Ramang bisa menendang bola kekiri tapi disetengah lambungan bola membelok kekanan. Tendangan efek seperti itu adalah keistimewaannya yang kini sering disebut dengan tendangan Pisang.
Begitu cepat ia beranjak, seolah-olah lebih cepat dari kemampuannja menggiring bola. Tapi lebih cepat lagi keputusannya untuk mengakhiri masa bujangnya. Sebab ditahun 1943 ia menikah dengan seorang gadis Bontain campuran Bone. Perkawinan ini tak selesai hanya dipelaminan. Setelah mereka membangun rumah tangga dan hidup bersama. Dibukalah sebuah warung kopi tempat mencari nafkah mereka. Duka melanda dengan kematian seorang putera yang lahir kemudian. Namun menjelang proklamasi 1945, ia membawa keluarganya pindah ke Makassar dan meninggalkan usaha warung kopi yang ia bangun bersama istrinya di Barru.
Setiba di Makassar, Sementara menganggur dan menumpang dirumah teman. Ramang Lalu menarik becak untuk menghidupi diri dan Istrinya. Setelah beberapa tahun menarik becak, ia memutuskan berhenti dan berganti profesi sebagai kenek truk. Kemudian Lahirlah anaknya yang kedua. Selama di meninggalkan kampung halamannya, Ramang meninggalkan lapangan hijau hingga tahun 1947.
Namun kecintaannya akan dunia sepak bola, membuat ia terpaksa meninggalkan profesinya karena sibuk bermain bola. Hal itu membuat kondisi keluarganya yang tinggal menumpang di sebuah rumah temannya menjadi sangat memprihatinkan. “Namun apapun yang terjadi, coba kalau isteri saya tidak teguh iman, mungkin sinting,” kata macan bola itu di kutip dari Majalah Tempo terbitan 1971. Ramang memang tak bisa lepas dari lapangan sepakbola. Baginya, meninggalkan lapangan sepakbola sama saja menaruh ikan di daratan. “Hanya bisa menggelepar-gelepar lalu mati,” katanya.
Tapi munculnja kembali dilapangan hijau menggelojok seakan tidak perlu lagi senam untuk pemanasan. Begitu ia terjun di dalam kompetisi PSM ditahun 1948, kesebelasannja menang 9-0 dan hanya dia bersama dua temannya jang mencetak angka itu. Saat itu ia memperkuat Persis (Persatuan Induk Sepak Bola Indonesia). Sejak itulah ia ditarik bergabung dengan PSM yang waktu itu bernama Makassar Voetbal Bond (MVB). Disinilah ia mulai naik daun, ketika berhasil mencetak gol-gol indah di seluruh lawatannya keliling Indonesia. Tapi ketika ia kembali ke Makassar seorang datang melamarnya — bekerja sebagai opas di DPU. Gadjinja? Dari dulu sampai sekarang, (1971) setelah naik plus tunjangan-tunjangan — total djenderal: Rp 3.500. Untungnya barangkali cuma satu: ia masih tetap bisa main bola! Ketika itu, Ramang bukan kacang yang lupa pada kulitnya, setelah berlatih dengan beberapa pemain lain di Makassar, Ramang masih sering pulang kampung dan melatih para pemain yang tergabung dalam Bond Barru.
Selama setahun menjadi pemain PSM, Ramang sudah keliling Indonesia bermain bola. Pada tahun 1952, Ramang menjadi pemain utama PSSI karena kelihaiannya sebagai penyerang tengah dalam bertanding. Pada tahun 1952 ia menggantikan Sunardi, kakak Suardi Arlan mengikuti latihan di Jakarta. Ini menyeretnya menjadi pemain utama PSSI. Didampingi Suardi Arlan di kanan dan Nursalam di kiri, ia bagai kuda kepang di tengah gelanggang. Permainannya sebagai penyerang tengah sangat mengagumkan. Maka setahun kemudian ia keliling di beberapa negeri asing. Namanya meroket menjadi pemain favorit penonton dan disegani pemain lawan.
Pada lawatannya tahun 1954 ke berbagai negeri Asia (Filipina, Hongkong, Muangthai, Malaysia) PSSI hampir menyapu seluruh kesebelasan yang dijumpai dengan gol menyolok. Dari 25 gol (dan PSSI hanya kemasukan 6 gol) 19 di antaranya lahir dari kaki Ramang.
Berkat prestasi Ramang, Indonesia masuk dalam hitungan kekuatan bola di Asia. Satu demi satu kesebelasan Eropa mencoba kekuatan PSSI. Mulai dari Yugoslavia yang gawangnya dijaga Beara (salah satu kiper terbaik dunia waktu itu), klub Stade de Reims dengan si kaki emas Raymond Kopa, kesebelasan Rusia dengan kiper top dunia Lev Jashin, klub Locomotive dengan penembak maut Bubukin, sampai Grasshopers dengan Roger Vollentein. “Tapi itu bukan prestasi saya saja, melainkan kerjasama dengan kawan-kawan,” ujar Ramang merendah, sembari menyebut nama temannya satu per satu: Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramlan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sian Liong dan Djamiat.
Ramang Memainkan Bola
Ramang dikenal sebagai penyerang haus gol. Ramang memang penembak lihai, dari sasaran mana pun, dalam keadaan sesulit bagaimana pun, menendang dari segala posisi sambil berlari kencang. Satu keunggulan yang masih diidamkan oleh setiap pemain bola kita hingga saat ini, terutama tembakan salto. Keahlian itu tampaknya karunia alam untuk pribadi Ramang seorang sebagai bekas pemain sepakraga yang ulung. Gol melalui tendangan salto yang indah dan mengejutkan seringkali dipertunjukkan oleh Ramang. Satu di antaranya saat PSSI mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Itu pertandingan menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pertandingan kedua dilanjutkan di Peking, Indonesia kalah dengan 3-4, sedang yang ketiga di Rangoon (juga melawan RR China) dengan 0-0. Sayang sekali lawan selanjutnya ialah Israel (yang tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat. Mendengar kehebatan Ramang di lapangan sepak bola, tak heran jika di tahun 50-an, banyak bayi lelaki yang lahir kemudian diberi nama Ramang oleh orangtuanya.Jika Ramang ditanya mengenai pertandingan paling berkesan, di sejumlah media, ia menyebut ketika PSSI menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956. “Ketika itu saya hampir mencetak gol. Tapi kaus saya ditarik dari belakang,” kata Ramang.
Padatahun 1960, ia mendapatkan panggilan Bupati Blitar untuk menjadi pelatih di sana. Tak hanya menjadi pelatih di Blitar, karier kepelatihan Ramang juga tercatat di PSM dan Persipal Palu. Suatu penghargaan yang takkan pernah dilupakan oleh Ramang saat menjadi pelatih di Persipal Palu yaitu saat ia dihadiahi satu hektar kebun cengkeh oleh masyarakat Donggala, Palu, karena prestasinya membawa Persipal menjadi satu tim yang disegani di Indonesia. Ramang yang pernah menjadi seorang tukang becak dan kenek truk merasa tidak mudah menjadi pelatih sepak bola. Ia kemudian harus disingkirkan pelan-pelan hanya karena ia tidak memiliki sertifikat kepelatihan. Dalam melatih, Ramang hanya mengajarkan pengalamannya ditambah dengan teori yang pernah ia dapatkan dari mantan pelatih PSSI, Tony Pogacknic, yang ia sangat hormati. Hingga kini semua orang sepakat bahwa ialah yang membangkitkan atmosfir sepak bola Indonesia. Sekalipun atmosfir itu tak sehebat dimasanya.
Pada tanggal 26 September 1987, di usia 59 tahun, mantan pemain sepak bola legendaris itu meninggal dunia di rumahnya yang sangat sederhana yang ia huni bersama anak, menantu dan cucunya yang semuanya berjumlah 19 orang. Dengan menderita Penyakit paru-paru yang keras, gara-gara merokok yang juga sangat keras, mengantar ayah tujuh (tiga meninggal) anak ini kembali ke Al KhalikIronis memang mengetahui kisah hidup mantan bintang sepakbola itu. Ramang dimakamkan di pemakamam umum Panaikang. Untuk mengenang jasanya, sebuah patung di lapangan karebosi Makassar dibuat untuknya. Mengapa Barru tidak? (Sumber : https://barrunews.wordpress.com/)
0Komentar